Jumat, 04 Juli 2008

PROGRAM IMPLEMENTASI PBKL

BAB I

PENDAHULUAN



A. Latar Belakang


Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah menetapkan Visi pendidikan nasional dalam mewujudkan sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia agar berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Untuk mewujudkan visi tersebut, misi Departemen Pendidikan Nasional adalah: (1) mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia; (2) meningkatkan mutu pendidikan yang memiliki daya saing di tingkat nasional, regional, dan internasional; (3) meningkatkan relevansi pendidikan dengan kebutuhan masyarakat dan tantangan global; (4) membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar; (5) meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral; (6) meningkatkan profesionalas dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar yang bersifat nasional dan global; dan (7) mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia.


Sejalan dengan Visi dan Misi Depdiknas tersebut di atas, maka sebagai acuan dasar dalam rangka pengembangan Rencana Strategis Pengembangan dan Pembinaan Pendidikan Dasar dan Menengah 2005–2009, Ditjen. Manajemen Dikdasmen merumuskan Visi dan Misi sebagai berikut:


Visi Ditjen. Manajemen Dikdasmen adalah: ”Mewujudkan pendidikan bermutu untuk kehidupan yang cerdas atas dasar kepribadian dan akhlak mulia bagi seluruh anak bangsa”. Dari visi dimaksud, kemudian disusun misi Ditjen Manajemen Dikdasmen yang meliputi:

  1. meningkatkan akses masyarakat untuk pendidikan dasar dan menengah,

  2. membantu/membimbing satuan pendidikan di jenjang pendidikan dasar dan menengah untuk memberikan pelayanan pendidikan bermutu,

  3. menjalin kerjasama yang efektif dan produktif dengan pemerintah daerah dan masyarakat dalam pengembangan dan pembinaan pendidikan dasar dan menengah yang bermutu,

  4. membantu pemerintah daerah menyediakan sarana dan prasarana belajar pendidikan bermutu,

  5. melakukan inovasi dalam mengembangkan sistem penyelenggaraan pendidikan bermutu dan akuntabel,

  6. merintis pengembangan lingkungan sekolah sebagai pusat pengembangan budaya (a centre for cultural development),

  7. mengembangkan sistem pelayanan khusus untuk peserta yang berada dalam konteks sosial, budaya, ekonomi, dan kondisi geografis khusus.


Direktorat Pembinaan SMA sebagai bagian intergral dari Ditjen. Manajemen Dikdasmen, dituntut untuk dapat berperan aktif dalam merealisasikan tujuan pendidikan nasional tersebut di atas, sesuai dengan Tugas Pokok dan Fungsi sebagaimana tercantum dalam Permendiknas No. 14/2005, yang dinyatakan bahwa Direktorat Pembinaan SMA mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan kebijakan, pemberian bimbingan teknis, supervisi, dan evaluasi di bidang pembinaan sekolah menengah atas, maka salah satu program yang telah dilaksanakan sejak pada tahun 2007 adalah mengembangkan program Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal (PBKL)


Sebagaimana yang tercantum dalam UU RI No. 20 Th. 2003 Bab XIV Ps. 50 ayat (5) dinyatakan bahwa, Pemerintah Kabupaten/Kota mengelola pendidikan dasar dan pendidikan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal. Hal ini didukung pula oleh prinsip penyelenggaraan pendidikan seperti yang tercantum pada UU RI No. 20 Th. 2003 Bab III Ps. 4 ayat (1), yang menyatakan bahwa Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa. Kemudian pada Bab X Ps. 36 ayat (2) yang dinyatakan Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah dan peserta didik, dan pada ayat (3) menyatakan Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Indonesia dengan memperhatikan: a) peningkatan iman dan takwa; b) peningkatan ahlak mulia; c) penigkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik; d) keragaman potensi daerah dan lingkungan; e) tuntutan pembangunan daerah dan nasional; f) tuntutan dunia kerja; g) perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; h) agama; i) dinamika perkembangan global; dan j) persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan. Kebijakan Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal juga ditekankan pada PP RI No. 19 Tahun 2005 Ps. 14 ayat (1), (2), dan (3).


Sejalan dengan upaya pemerintah untuk mengakomodasi berbagai kebutuhan dan potensi daerah dalam penyelenggaraan pendidikan, Direktorat Pembinaan SMA telah melaksanakan berbagai program dan kegiatan diantaranya program pengembangan Pendidikan Berbasis Luas (Broad Based Education/BBE) kecakapan hidup Life Skill/LS) di sejumlah SMA yang dilaksanakan pada tahun 2003 dan 2004, dan pada tahun 2006 melaksanakan rintisan Pengembangan Sekolah Berwawasan Keunggulan Lokal Kelautan di 100 SMA, yang dilaksanakan melalui kerjasama dengan Departemen Kelautan.


Berdasarkan hasil evaluasi pelaksanaan pengembangan program BBE- Life Skill dan Sekolah Berwawasan Keunggulan Lokal Kelautan tersebut di atas, menunjukkan hasil yang belum optimal dan tidak berkesinambungan. Hal tersebut disebabkan karena kedua program tersebut pembelajarannya. Hal ini disebabkan karena program tersebut pembelajarannya bukan menjadi bagian dari struktur kurikulum.


Mengacu pada Standar Isi khususnya struktur kurikulum, Direktorat Pembinaan SMA menetapkan kebijakan pengembangan Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal dilaksanakan secara terintegrasi pada mata pelajaran yang relevan, muatan lokal dan mata pelajaran keterampilan sebagai bagian integral dari keseluruhan proses penyelenggaraan pendidikan pada SMA. Hal dimaksud sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam PP No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pada BAB III tentang Standar Isi pasal 14 ayat (1) yang dinyatakan bahwa untuk SMA/MA/SMALB atau bentuk lain yang sederajat dapat memasukkan pendidikan berbasis keunggulan lokal; dan ayat (2) Pendidikan berbasis keunggulan lokal dapat merupakan bagian dari pendidikan kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, pendidikan kelompok matapelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, pendidikan kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi, pendidikan kelompok mata pelajaran estetika atau kelompok mata pelajaran pendidikan jasmani,olah raga dan kesehatan; dan ayat (3) Pendidikan berbasis keunggulan lokal dapat diperoleh peserta didik dari satuan pendidikan yang bersangkutan atau dari satuan pendidikan nonformal yang sudah memperoleh akreditasi.



Untuk itu, diperlukan adanya Program Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal (PBKL) yang diselenggarakan secara komprehensif dan berkelanjutan. Program ini merupakan salah satu upaya memberikan kesempatan kepada sekolah untuk membekali peserta didik berkaitan dengan pengetahuan dan sikap menghargai sumberdaya dan potensi yang ada di lingkungan setempat, serta mampu menggali dan memanfaatkannya untuk dapat digunakan sebagai bekal kehidupan yang akan dijalaninya di masa yang akan datang.


Kebijakan Pengembangan Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal ini juga sangat relevan dengan kondisi wilayah negara Indonesia yang sangat luas, dengan aneka ragam potensi serta sumber daya yang dapat dikembangkan secara maksimal dan menjadi keunggulan lokal daerah masing-masing. Oleh karena itu diperlukan adanya program strategi implementasi PBKL sebagai bagi pemangku kebijakan di tingkat pusat,provinsi, dan kabupaten/kota dalam melakukan pembinaan dan pendampingan.


B. Tujuan


Naskah Program Implementasi Rintisan PBKL disusun dengan tujuan :


  1. Memberikan pemahaman/persepsi yang sama tentang PBKL

  2. Sebagai panduan bagi para pemangku kebijakan dan kepentingan dalam melakukan pembinaan Rintisan PBKL.

  3. Sebagai panduan bagi sekolah dalam melaksanakan pendidikan berbasis keunggulan lokal


BAB II

PENYELENGGARAAN PROGRAM RINTISAN PBKL



  1. Landasan Pengembangan PBKL


Landasan pengembangan program pendidikan berbasis keunggulan lokal di SMA adalah :

  1. UU RI Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Pusat dan Daerah.

  2. UU RI Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.

  3. UU RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

    • BAB III pasal 4 ayat (1) menyatakan bahwa Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai agama, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.

    • BAB X pasal 36 ayat (2) menyatakan bahwa Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik, dan pada pasal yang sama ayat (3) butir c menyatakan bahwa Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka negara kesatuan republik Indonesia dengan memperhatikan keragaman potensi daerah dan lingkungan.

    • BAB X pasal 37 ayat (1) menyatakan bahwa Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat Keterampilan/Kejuruan (butir i) dan muatan lokal (butir j).

    • BAB XIV pasal 50 ayat (5) menyatakan bahwa Pemerintah Kabupaten/kota mengelola pendidikan dasar dan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal.

  1. PP Nomor 25 Tahun 2000 tentang Otonomi Daerah yang mengatur pembagian kewenangan antara pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.

  2. PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

  • BAB III Standar Isi pasal 14 ayat (1) menyatakan bahwa untuk SMA/MA/SMALB atau bentuk lain yang sederajat dapat memasukkan pendidikan berbasis keunggulan lokal; dan ayat (2) Pendidikan berbasis keunggulan lokal dapat merupakan bagian dari pendidikan kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, pendidikan kelompok matapelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, pendidikan kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi, pendidikan kelompok mata pelajaran estetika atau kelompok mata pelajaran pendidikan jasmani,olah raga dan kesehatan; dan ayat (3) Pendidikan berbasis keunggulan lokal dapat diperoleh peserta didik dari satuan pendidikan yang bersangkutan atau dari satuan pendidikan nonformal yang sudah memperoleh akreditasi.

  • Pasal 17 ayat (1) menyatakan bahwa Kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi/karakteristik daerah, sosial budaya masyarakat setempat dan peserta didik.

  • BAB IV pasal 19 ayat (1) menyatakan bahwa Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif,inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa,kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat,minat dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik

  • BAB V pasal 26 ayat (2) menyatakan bahwa Standart kompetensi lulusan pada satuan pendidikan menengah umum bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan,pengetahuan,kepribadian,akhlak mulia,serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya.

  • BAB VIII pasal 60 butir (i) menyatakan bahwa Peningkatan relevansi pendidikan terhadap kebutuhan lokal, nasional dan global.

  • dan penjelasan pasal 91 ayat (1) menyatakan bahwa dalam rangka lebih mendorong penjaminan mutu ke arah pendidikan yang relevan dengan kebutuhan masyarakat, pemerintah dan pemerintah daerah memberikan perhatian khusus pada penjaminan mutu satuan pendidikan tertentu yang berbasis keunggulan lokal.

  1. Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi.

  2. Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan.

  3. Permendiknas Nomor 24 tahun 2006 tentang pelaksanaan Permen 22 dan 23 tahun 2006

  4. Permendiknas Nomor 6 thn 2007 tentang perubahan permen nomor 24 tahun 2006

  5. Permendiknas nomor 12,13,16,18,tahun 2007 tentang Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan .

  6. Permendiknas Nomor 19 tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan

  7. Permendiknas Nomor 20 tahun 2007 tentang Standar Sarana dan Prasarana

  8. Permendiknas Nomor 24 tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan

  9. Permendiknas Nomor 41 tahun 2007 tentang Standar Proses

  10. Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

  11. Renstra Depdiknas tahun 2005 – 2009.



B. Pengertian


Agar seluruh pihak yang terkait dalam penyelenggaraan program rintisan PBKL di sejumlah SMA memiliki pemahaman/persepsi yang sama, perlu adanya rumusan pengertian sebagai berikut:


  1. Keunggulan Lokal


Keunggulan lokal adalah segala sesuatu yang merupakan ciri khas kedaerahan yang mencakup aspek ekonomi, budaya, teknologi informasi dan komunikasi, ekologi, dan lain-lain. Sumber lain mengatakan bahwa Keunggulan lokal adalah hasil bumi, kreasi seni, tradisi, budaya, pelayanan, jasa, sumber daya alam, sumber daya manusia atau lainnya yang menjadi keunggulan suatu daerah (Dedidwitagama,2007


Keunggulan Lokal (KL) dapat didefinisikan sebagai suatu proses dan realisasi peningkatan nilai dari suatu ciri khas kedaerahan dan potensi daerah, sehingga menjadi produk/jasa atau karya lain yang bernilai tinggi, bersifat unik dan memiliki keunggulan komparatif.


Ciri khas kedaerahan adalah suatu bentuk kegiatan atau produk yang hanya terdapat pada satu daerah/lokal dan tidak terdapat pada daerah lainnya.


Potensi daerah adalah aset yang dimiliki oleh satu daerah tertentu yang dapat memberikan nilai benefit/kemanfaatan dan nilai effektif/kemudahan bagi daerah itu sendiri).


  1. Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal (PBKL)


Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal (PBKL) di SMA adalah pendidikan/program pembelajaran yang diselenggarakan pada Satuan Pendidikan sesuai dengan kebutuhan daerah, dengan memanfaatkan berbagai sumber daya dan potensi daerah yang bermanfaat dalam proses pengembangan kompetensi peserta didik. Sumberdaya dan potensi daerah dimaksud antara lain mencakup aspek SDA, SDM, ekonomi, budaya/history, bahasa, teknologi informasi dan komunikasi (TIK/ICT), ekologi dan lain-lain.

Kebutuhan daerah adalah segala sesuatu yang diperlukan oleh masyarakat di satu daerah untuk kelangsungan hidup dan peningkatan taraf hidup masyarakat setempat).


Berkaitan dengan hal dimaksud, perlu adanya pemahaman dari semua pihak bahwa program PBKL di SMA bukan merupakan mata pelajaran baru tetapi merupakan materi pembelajaran pada Standar Kompetensi/Kompetensi Dasar (SK/KD) mata pelajaran yang relevan. Materi Pembelajaran tersebut dikembangkan melalui proses analisis keunggulan lokal di daerah setempat.


  1. Acuan Pengembangan Program PBKL di SMA


Mengacu pada berbagai pengertian tersebut di atas, maka program PBKL dikembangkan dan dilaksanakan oleh satuan pendidikan (SMA) berdasarkan:


  1. Sumber daya alam (SDA), sumber daya manusia (SDM), potensi dan kebutuhan daerah yang mencakup aspek ekonomi, budaya, bahasa, teknologi informasi dan komunikasi (TIK), ekologi, dan lain-lain.

  2. Kebutuhan, minat, dan bakat peserta didik.

  3. Ketersediaan daya dukung/potensi satuan pendidikan (internal) antara lain:

a. Kurikulum Sekolah yang memuat program keunggulan lokal melalui integrasi pada mata pelajaran yang relevan, muatan lokal dan keterampilan.

b. Sarana prasarana: ruang belajar, peralatan praktik, media pembelajaran, buku/bahan ajar sesuai dengan program PBKL yang diselenggarakan.

c. Ketenagaan dengan keahlian sesuai tuntutan program PBKL

d. Biaya operasional pendidikan yang diperoleh melalui berbagai sumber

  1. Ketersediaan daya dukung eksternal antara lain:

a. Dukungan Pemda Kab/Kota baik berupa kebijakan, pembinaan dan fasilitas/ pembiayaan.

b. Dukungan Pemda Kab/Kota baik berupa kebijakan, pembinaan dan fasilitas/ pembiayaan.

c. Stakeholders yang memiliki kepedulian untuk mendukung keseluruhan proses penyelenggaraan PBKL, mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program.

d. Nara sumber yang memiliki kemampuan/keahlian sesuai dengan program keunggulan lokal yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan.

e. Satuan pendidikan formal lain dan/atau satuan pendidikan nonformal yang terakreditasi.





BAB III

STRATEGI PENGEMBANGAN PROGRAM RINTISAN PBKL



A. Strategi Pengembangan


    1. Tahapan Persiapan

Pengembangan program rintisan PBKL dilaksanakan dengan strategi sebagai berikut :

a. Penyusunan perangkat/dokumen pendukung pelaksanaan model rintisan PBKL, meliputi:


  1. Konsep PBKL

  2. Program Implementasi rintisan PBKL

  3. Panduan Penyusunan Program Kerja Sekolah Pelaksana Rintisan PBKL

  4. Panduan Supervisi dan Evaluasi Keterlaksanaan Program Rintisan PBKL

  5. Instrumen Supervisi dan Evaluasi Keterlaksanaan Program Rintisan PBKL


b. Sosialisasi program rintisan PBKL dilaksanakan melalui berbagai kegiatan/ forum/cara antara lain:

  1. Pertemuan/Rakor/Workshop yang diselenggarakan oleh Direktorat Pembinaan SMA, baik tingkat Nasional maupun Regional (Prov/Kab/Kota), yang dihadiri oleh Pejabat Struktural/Staf di lingkungan Direktorat Pembinaan SMA dan Dinas Pendidikan Provinsi/Kab/Kota.

  2. Pertemuan/Rakor/Workshop yang dilaksanakan oleh instansi lain seperti: Departemen Agama, Pemda Kab/Kota dll, baik Tingkat Nasional maupun Regional (Prov/Kab/Kota), yang dihadiri oleh Pejabat Struktural/Staf di lingkungan unit kerja terkait.

  3. Workshop Pengawas yang dilaksanakan oleh Unit Kerja lain di lingkungan Depdiknas melalui penugasan Fasilitator Pusat.

  4. Pengimbasan/desiminasi antar sekolah yang melibatkan unsur Dinas Pendidikan Prov/Kab/Kota, Perguruan Tinggi, dan pemangku kepentingan lainnya.


Agar pelaksanaan sosialisasi terlaksana secara efektif dan efisien, Direktorat Pembinaan SMA menyiapkan Perangkat/Bahan Sosialisasi, melatih sejumlah Petugas/Tim Fasilitator (tingkat Pusat, Provinsi, Kab/Kota, dan Sekolah yang terkoordinir di tingkat Pusat).


    1. Keterkaitan antar lembaga

Rintisan PBKl pada dasarnya merupakan upaya untuk membangun model PBKL baik SMA negeri maupun swasta. Upaya tersebut merupakan suatu sistem dimana Direktorat Pembinaan SMA sebagai bagian dari Pemerintah Pusat berperan sebagai inisiator dan developer untuk mulai menerapkan secara operasional kebijakan PBKL. Sebagai sebuah sistem, PBKL akan melibatkan komponen BSNP, Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK), Balitbangdiknas, Pemerintah Provinsi (Dinas Pendidikan Provinsi), Pemerintah Kabupaten/Kota (Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota), dan Sekolah (SMA Negeri dan Swasta).


Keterkaitan antar lembaga pada pelaksanaan program rintisan PBKL tersebut di atas dapat digambarkan dalam Bagan 1 berikut ini.





Landasan/Kebijakan PBKL, Ditjen Mandikdasmen,


Pemerintah Provinsi (Pendampingan : Dinas Dik, Dewan Dik, Dsb)


Direktorat Pembinaan SMA (Pendampingan)

Pemerintah Kab./Kota (Pendampingan : Dinas Dik, Dewan Dik, Dsb)
























Penjelasan bagan:


  1. Direktorat Pembinaan SMA

  1. Landasan pelaksanaan SMA rintisan PBKL adalah kebijakan Dit.Pembinaan SMA, Ditjen Manajemen Dikdasmen, Depdiknas. Penetapan sekolah rintisan berdasarkan usulan Dinas Pendidikan Provinsi dan Kabupaten/Kota. Direktorat Pembinaan SMA berinisiatif mengembangkan kriteria untuk menetapkan PBKL dalam rangka pelaksanaan program rintisan PBKL.

  2. Sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya, Direktorat Pembinaan SMA melakukan pembinaan implementasi kebijakan PBKL kepada sekolah melalui Dinas Pendidikan Provinsi dan Kabupaten/Kota dengan pokok-pokok kegiatannya sebagai berikut:

  • Merancang program rintisan PBKL dengan kegiatan sebagai berikut:

    • Menyusun konsep dan perangkat PBKL

    • Melakukan sosialisasi konsep PBKL

    • Memberikan pendampingan kepada sekolah dalam pengembangan program rintisan PBKL . Pendampingan diasumsikan akan dilakukan selama 3 tahun. Periode waktu pendampingan antar sekolah ditentukan oleh tingkat kecepatan sekolah mencapai kategori mandiri. Tingkat kecepatan tersebut sangat dipengaruhi oleh kemauan dan kemampuan internal sekolah dan dukungan dari Dinas Pendidikan Provinsi dan Kabupaten/Kota, khususnya dalam hal pengembangan kurikulum (KTSP dan SKS), pemenuhan sarana prasarana, tenaga pendidik (standar kualifikasi guru, jumlah guru, pengembangan kompetensi SDM), manajemen (mendorong sekolah untuk menyusun rencana pembiayaan yang memadai, memantau keterlaksanaan manajemen berbasis sekolah). Oleh karena itu maka lamanya pendampingan antara satu sekolah dengan sekolah yang lain dapat berbeda-beda.

    • Melakukan supervisi dan evaluasi keberhasilan pelaksanaan rintisan PBKL berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan Provinsi dan Kabupaten/Kota.

    • Merekomendasikan SMA rintisan PBKL menjadi model rujukan. Tindak lanjut dari penetapan model tersebut akan dilakukan evaluasi secara reguler untuk mengetahui pencapaian standar sekolah sebagai PBKL

      • Merancang strategi operasional implementasi kebijakan PBKL secara nasional

      • Menyiapkan perangkat operasional pelaksanaan PBKL


  1. Dinas Pendidikan Provinsi

Berkaitan dengan program rintisan PBKL, pokok-pokok kegiatan yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan Provinsi adalah:

    1. Menyiapkan petugas verifikasi calon rintisan PBKL

    2. Melakukan verifikasi calon PBKL berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan Direktorat Pembinaan SMA

    3. Menetapkan SMA rintisan PBKL

    4. Bersama-sama dengan Direktorat Pembinaan SMA memberikan pendampingan kepada sekolah yang telah ditetapkan PBKL dalam penyusunan program kerja

    5. Memberikan dana bantuan block grant bagi SMA rintisan PBKL melalui dana dekonsentrasi

    6. Melakukan pembinaan dan memfasilitasi SMA rintisan PBKL di daerahnya untuk mendorong percepatan pencapaian kategori mandiri/ standar nasional melalui kebijakan, pendanaan, sarana prasarana, dan sumberdaya manusia sesuai yang dipersyaratkan dalam delapan Standar Nasional Pendidikan

    7. Bersama-sama dengan Direktorat Pembinaan SMA melakukan supervisi dan evaluasi keberhasilan pelaksanaan program rintisan PBKL

    8. Memperluas program rintisan PBKL di daerahnya


  1. Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota


Berkaitan dengan program rintisan PBKL , pokok-pokok kegiatan yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota adalah:

    1. Merekomendasikan calon SMA rintisan PBKL kepada Dinas Pendidikan Provinsi untuk dilakukan verifikasi

    2. Melakukan verifikasi calon PBKL bersama Dinas Pendidikan Provinsi berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan Direktorat Pembinaan SMA

    3. Melakukan pembinaan dan memfasilitasi SMA rintisan PBKL di daerahnya untuk mendorong percepatan pencapaian kategori mandiri/ standar nasional melalui kebijakan, pendanaan, sarana prasarana, dan sumberdaya manusia sesuai yang dipersyaratkan dalam delapan Standar Nasional Pendidikan

    4. Bersama-sama dengan Dinas Pendidikan Provinsi dan Direktorat Pembinaan SMA melakukan supervisi dan evaluasi keberhasilan pelaksanaan program rintisan PBKL

    5. Menetapkan model rujukan PBKL

    6. Merekomendasikan sekolah yang akan ditetapkan sebagai sekolah rintisan PBKL.

    7. Memperluas sasaran program rintisan PBKL di daerahnya





  1. SMA rintisan PBKL

Berkaitan dengan program rintisan PBKL , pokok-pokok kegiatan yang dilakukan oleh SMA rintisan PBKL antara lain :

    1. Menyusun program pencapaian kategori mandiri/standar nasional jangka menengah (3 tahun) yang dioperasionalkan dalam program tahunan.

    2. Melaksanakan program sesuai dengan target dan waktu yang telah ditetapkan

    3. Proaktif mengembangkan diri dengan menggerakkan dan mendayagunakan potensi sumberdaya internal dan eksternal sekolah.

    4. Secara bertahap melaksanakan sistem SKS

    5. Melakukan evaluasi internal terhadap tingkat keterlaksanaan program rintisan kategori mandiri/standar nasional

    6. Melakukan tindak lanjut atas hasil evaluasi internal untuk mencapai kategori mandiri/standar nasional



3. Tahapan program rintisan PBKL


Penyusunan dilakukan oleh BSNP

Penyusunan dilakukan oleh Direktorat Pembinaan SMA












Tahapan kegiatan:

  • Usulan calon sekolah

  • Verifikasi untuk penetapan level kategori sekolah

  • Penyusunan program sekolah berdasarkan level kategori

  • Pelaksanaan program sekolah




  • Melalui berbagai forum pertemuan dengan Dinas Pendidikan Prov dan Kab./ Kota, dan sekolah

  • Oleh Dit. Pembinaan SMA kerjasama dengan berbagai pihak











Dilakukan oleh Dinas Dik Prov/Kab/Kot atas rekomendasi Dit. PSMA

Pembinaan lanjutan oleh:

  • Dit. Pembinaan SMA

  • Dinas Pendidikan Provinsi

  • Dinas Pendidikan Kab./Kota

Pemilihan SMA Model berdasarkan pemetaan wilayah











B. Alur dan Jadwal Kegiatan


1. Alur Kegiatan


Alur kegiatan rintisan PBKL secara umum adalah sebagai berikut:



Persiapan Program


Penetapan/

Pemilihan SMA Rintisan PBKL


Penyiapan Petugas/

Fasilitator PBKL









Asistensi dan Bimbingan Teknis



Inventarisasi Kondisi & Penyusunan Prog. Kerja Sekolah


Penilaian Program Kerja PBKL







Penetapan SMA Model PBKL

Bantuan Pendampingan Rintisan PBKL


Supervisi dan Evaluasi












2. Pola Umum Uraian/Jadwal Kegiatan Tahunan



No.


Kegiatan


Waktu


Keterangan

1.

Persiapan dan penyempurnaan naskah, sosialisasi program rintisan PBKL


Akhir tahun sebelumnya-Januari

Dilakukan oleh Dit. Pembinaan SMA:

  • Persiapan berupa program dan perangkat kegiatan

  • Sosialisasi melalui rakor dan surat pemberitahuan

2.

Pemilihan dan penetapan SMA rintisan PBKL dilakukan oleh Dinas Pendidikan Provinsi

November/Desember tahun sebelumnya

Acuan umum:

  • Dinas Pendidikan Provinsi berdasarkan kuota Dit. Pembinaan SMA mengusulkan calon sekolah rintisan

  • Kriteria penetapan rintisan PBKL ditetapkan oleh Dinas Pendidikan Provinsi bersama-sama Direktorat Pembinaan SMA

3.

Penyiapan Petugas/ Fasilitator Rintisan PBKL

Februari

Dilaksanakan oleh Dit. Pembinaan SMA, Dinas Dik Prov /Kab/Kota

4.

Inventarisasi kondisi

Februari s.d. Maret

  • Perangkat disiapkan oleh Dit. Pembinaan SMA dan disosialisasikan kepada Dinas Dik Prov/Kab/Kota melalui TOT

  • Inventarisasi kondisi tahun pertama dilaksanakan oleh Dinas Dik Prov/Kab/Kota

  • Inventarisasi tahun berikutnya dilakukan berdasarkan hasil penilaian supervisi dan evaluasi keterlaksanaan program

5.

Penyusunan dan penilaian program kerja sekolah

Maret s.d. Mei

  • Program kerja sekolah disususn dan dinilai bersama oleh sekolah dan Direktorat Pembinaan SMA

  • Program kerja ini menjadi acuan sekolah dalam melaksanakan program, dan acuan dinas serta direktorat dalam melakukan pembinaan

6.

Pembinaan (Asistensi, bimbingan teknis dan supervisi)

Juli tahun berjalan s.d Juni tahun berikutnya

Dilakukan Dit. PSMA bersama-sama Dinas Dik Prov/Kab/Kota

7.

Evaluasi keterlaksanaan program

Akhir tahun anggaran

Dilakukan Dit. PSMA bersama-sama Dinas Dik Prov/Kab/Kota

8.

Pemilihan dan penetapan SMA ”Model” PBKL


Akhir Juni tahun berikutnya

Dilakukan Dit. PSMA bersama-sama Dinas Dik Prov/Kab/Kota







KELEMAHAN

KELEMAHAN

PEDAGOGY VS ANDRAGOGY - Pendidikan [6]
Pedagogy ini konsep yang biasanya dipakai di dalam pendidikan yakni bahwa Pendidikan itu menempatkan murid/siswa sebagai obyek di dalam pendidikan, mereka mesti menerima pendidikan yang sudah di set up oleh sistem pendidikan, di set up oleh gurunya/pengajarnya apa-apa saja yang harus dipelajari, materi-materi apa saja yang akan diterima, yang akan disampaikan, metode panyampaiannya,dll, itu semua tergantung kepada pengajar dan tergantung kepada sistem. Murid sebagai obyek dari pendidikan.
Dari konsep ini kemudian muncullah konsep pendidikan fundamentalis, intelektual dan konservatif.
O’neil menjelaskan tentang Fundamentalisme pendidikan sebagai berikut :
“…pada dasarnya anti-intelektual dalam arti bahwa mereka ingin meminimalkan pertimbangan-pertimbangan filosofis dan atau intelektual, serta cenderung untuk mendasarkan diri mereka pada penerimaan yang relatif tanpa kritik terhadap Kebenaran yang diwahyukan atau konsensus sosial yang sudah mapan…”
Kebenaran yang diajarkan di dalam pendidikan adalah kebenaran yang condong dikatakan mutlak benar, bersifat wahyu, relatif tanpa kritik.
Pendidikan yang seperti ini banyak di pakai di abad pertengahan oleh pihak agamawan, maupun sampai sekarang juga dipakai oleh pihak agamawan, tanpa memberi kesempatan kadang untuk siswa berpikir yang berbeda, atau meminimkan perkembangan intelektual dari siswanya. Perbedaan bukan dianggap sebagai hal yang biasa, melainkan sudah dianggap sebagai perselisihan yang kadang dianggap sebagai sebuah perlawanan atau pemberontakan.
Bisa kita pahami, mengapa ketika Galileo berbeda dari pihak gereja tentang pusat tatasurya, maka yang ada adalah anggapan pemberontakan yang berakhir di ujung kematiannya.
O’neil juga menjelaskan tentang Intelektualisme pendidikan sebagai berikut :
“…pada dasarnya otoritarian…demi menyesuaikan secara lebih sempurna dengan cita-cita intelektual atau rohaniah yang sudah mapan dan tidak bervariasi…”
Di dalam konsep intelektualisme pendidikan ini, tetap saja sifat murid sebagai obyek itu yang dipakai sebagai landasan, sistem dan guru tetap bersifat otoriter, intelektual dipakai dengan tidak bertentangan kepada nilai-nilai kebenaran yang sudah ada, yang sudah mapan.
Kita bisa memaklumi jika sekarang ini di salah satu perguruan tinggi terkenal di Indonesia, buku-buku teknik yang dipakai adalah buku keluaran tahun 1950. Bisa kita bayangkan, teknologi 1950, meski dengan alasan sebagai pondasi keilmuan, itulah yang diajarkan kepada siswanya. Intelektualisme pendidikan dilakukan, tetapi kebenaran masa lalu, nilai-nilai masa lalu itu yang diajarkan.
Kalau sekarang sudah teknologi tahun 2006, sedangkan yang kita pelajari baru referensi tahun 1950, lalu bagaimana cara kita bisa mengejar ketinggalan kita yang 56 tahun itu?
O’neil juga menjelaskan tentang Konservatisme pendidikan sebagai berikut :
“Konservatisme pada dasarnya adalah posisi yang mendukung ketaatan terhadap lembaga-lembaga dan proses-proses budaya yang sudah teruji oleh waktu (sudah cukup tua atau dan mapan), didampingi dengan rasa hormat mendalam terhadap hukum dan tatanan, sebagai landasn perubahan sosial yang konstruktif
Pendidikan yang konservatif beranggapan bahwa sasaran utama sekolah adalah pelestarian dan penerusan pola sosial serta tradisi-tradisi yang sudah mapan.
Saya tidak mengatakan bahwa sistem konservatif ini jelek, harus dirubah atau mesti diganti tidak, tapi marilah kita melihat kenyataan bahwa sistem yang menggunana Pedagogy ini mengandung beberapa kelemahan meski juga mengandung beberapa kelebihan.
Kelemahannya adalah, bahwa dengan penerapan sistem pedagogy ini, manusia (dalam hal ini adalah siswa) yang memiliki ke unikan sendiri, yang memiliki talenta sendiri, memiliki minat sendiri, memiliki kelebihan sendiri, menjadi tidak berkembang, menjadi tidak bisa mengeksplor dirinya sendiri, tidak mampu menyampaikan kebenarannya sendiri, sebab yang memiliki kebenaran adalah masa lalu, adalah sesuatu yang sudah mapan dan sudah ada sampai sekarang.
Perbedaan bukanlah menjadi hal yang biasa, melainkan jika ada yang berbeda itu akan dianggap sebagai sebuah perlawanan dan pemberontakan.
Tetapi Pedagogy memiliki kelebihan tersendiri, yakni didalam menjaga rantai keilmuan yang sudah diawali oleh orang-orang terdahulu, maka rantai emas dan benang merah keilmuan bisa dilanjutkan oleh generasi mendatang. Generasi mendatang tidak perlu mulai dari nol lagi, melainkan tinggal melanjutkan apa yang sudah ditemukan, apa yang sudah dirintis, apa yang sudah dimulai oleh generasi mendatang.
Seperti sisi mata uang yang berbeda dari satu keping, kalau di satu sisi adalah Pedagogy, maka di sisi yang lain adalah Andragogy, yakni konsep pendidikan yang meletakkan siswa sebagai subyek dari pendidikan. Bukan lagi sebagai obyek, tetapi sebagai subyek dari pendidikan.
Inilah yang sekarang ini mau diterapkan di Indonesia dengan istilah konsep pendidikan yang berdasarkan pada "kompetensi". Siswa yang mesti lebih aktif dari gurunya, kadang ada yang berkata, keaktifan siswa adalah 70% di dalam proses belajar mengajar sementara guru keaktifannya cukup 30 % saja. Sebelum ini sebenarnya sudah dikenal CBSA, cara belajar siswa aktif, atau di tahun 70 an ada sebuah proyek yang disebut dengan PPSP (Proyek perintis Sekolah Pembangunan) dimana pada waktu itu, siswa dibebaskan menentukan seberapa cepat dia bisa menyelesaikan masa studinya. Sudah disiapkan Lembaran Kegiatan Siswa (LKS) yang berisikan tentang teori-teori materi yang dipelajari, kalau siswa beranggapan sudah menguasai, maka diberi tersendiri lembar latihan dari LKS tadi dan kalau sudah merasa siap, maka siswa bisa mengambil sendiri Lembar Test Formatif yang sudah siap. Fungsi Guru pada waktu itu cuman menjelaskan apabila bertanya dan menilai hasil test formatif tersebut. Di PPSP ini, murid kelas 1 SMP (waktu itu disebut kelas 6), itu bisa saja menempuh pelajaran kelas 2 SMP (kelas 7) maupun menempuh kelas 8 (3 SMP), sehingga pada waktu itu, cukup banyak yang mampu menempuh level SMP hanya dalam waktu 2 tahun. PPSP mencanangkan program SD cuman 5 tahun, SMP bisa ditempuh 2 tahun dan SMA juga bisa ditempuh 2 tahun juga, tergantung kepada kemampuan dari siswa.
Sayang banget, di Indonesia sudah sama-sama kita ketahui, ganti mentri ganti sistem pendidikan, jadilah Proyek yang sudah dijalankan tidak dilihat hasilnya bagaimana yang penting langsung diganti saja..
Dari konsep pendidikan Andragogy inilah, kita kenal istilah-istilah Enjoy Learning, Workshop, Pelatihan Outbond,dll, dan dari konsep Pendidikan Andragogy inilah kemudian muncul konsep-konsep Liberal, Liberasionis dan Anarkis.
William F. O’Neil menyebutnya dengan pendidikan Liberal yang oleh O’Neil dibagi menjadi tiga macam yaitu Liberalisme pendidikan, Liberasionisme pendidikan dan Anarkisme pendidikan.
O’Neil menjelaskan Liberalisme pendidikan sebagai berikut:
“..tujuan jangka panjang pendidikan adalah untuk melestarikan dan memperbaiki tatanan sosial yang ada dengan cara mengajar setiap siswa sebagaimana cara menghadapi persoalan-persoalan dalam kehidupan sehari-hari secara efektif.”
O’Neil menjelaskan Liberasionisme pendidikan sebagai berikut :
“Liberasionisme adalah sebuah sudut pandang yang menganggap bahwa kita musti segera melakukan perombakan berlingkup besar terhadap tatanan politik (dan pendidikan) yang ada sekarang, sebagai cara untuk memajukan kebebasan-kebebasan individu dan mempromosikan perujudan potensi-potensi diri semaksimal mungkin”
Sebagai contoh, Tahun 1950 atas ide dari Robert Mayard Hutchins, sistem absesnsi buat siswa sudah ditiadakan di sebagian Amerika dan juga sistem SKS sudah ditiadakan juga. Murid/siswa dibebaskan atas apa yang ingin mereka pelajari, sesuai minat dan bakat mereka masing-masing.
Bagi pendidik liberasionis, sekolah bersifat obyektif namun tidak sentral dan sekolah bukan hanya mengajarkan pada siswa bagaimana berpikir yang efektif secara rasional dan ilmiah, melainkan juga mengajak siswa untuk memahami kebijaksanaan tertinggi yang ada di dalam pemecahan-pemecahan masalah secara intelek yang paling meyakinkan. Dengan kata lain, liberasionisme pendidikan dilandasi oleh sebuah sistem kebenaran yang terbuka. Secara moral, sekolah berkewajiban mengenalkan dan mempromosikan program-program sosial konstruktif dan bukan hanya melatih pikiran siswa. Sekolahpun harus memajukan pola tindakan yang paling meyakinkan yang didukung oleh sebuah analisis obyektif berdasarkan fakta-fakta yang ada. Hal ini sejalan dengan pendapat Aristoteles tentang prinsip pendidikan yaitu sebagai wahana pengkajian fakta-fakta, mencari “yang obyektif” , melalui pengamatan atas kenyataan.
O’neil menjelaskan Anarkisme pendidikan sebagai berikut :
“ …..seperti pendidik liberal dan liberasionis, pada umumnya (anarkisme pendidikan) menerima sistem penyelidikan eksperimental yang terbuka (pembuktian pengetahuan melalui penalaran ilmiah)…”
Tetapi berbeda dengan liberal dan liberasionis, anarkisme pendidikan beranggapan bahwa harus meminimalkan dan atau menghapuskan pembatasan-pembatasan kelembagaan terhadap perilaku personal, bahwa musti dilakukan untuk membuat masyarakat yang bebas lembaga.. Menurut anarkisme pendidikan, pendekatan terbaik terhadap pendidikan adalah pendekatan yang mengupayakan untuk mempercepat perombakan humanistik berskala besar yang mendesak ke dalam masyarakat, dengan cara menghapuskan sistem persekolahan sekalian.
Sekali lagi..sistem Andragogy pun memiliki kelebihan dan kelemahannya sendiri. Beberapa kelebihan memang memberikan sarana, wadah dan sistem bagi talenta masing-masing orang untuk berkembang sesuai minat dan bakat masing-masing.
Coba kita bertanya kepada diri kita sendiri, mengapakah dulu kita memilih jurusan tertentu ketika kuliah ?
Maka kalau kita jujur, sebagian besar dari kita tidaklah memahami alasan yang ada pada diri sendiri, mengapa kita memilih jurusan tersebut?
Kita tidak mengetahui sebelumnya dan menjadi sebuah ironi setelah kita selesai lulus katakanlah selama 5 tahun, barulah kita menyadari bahwa jurusan itu tidak kita sukai. Tetapi sistem di kita belum memungkinkan adanya pindah jurusan seperti itu, yang disesuaikan dengan bakat dan minat dari siswanya.
Tetapi sistem Andragogy ini memiliki kelemahan pula. Salah satunya adalah bahwa bagaimana mungkin seorang siswa yang tidak terlalu memahami tentang luasnya ilmu kemudian dibebaskan memilih apa yang mereka sukai? Seolah sistem Andragogy hanya sebagai suatu sistem yang mengembirakan siswanya saja dan melupakan untuk tujuan apa sebenarnya sebuah pendidikan itu dilakukan?
Dan bagaimana pula bisa dilakukan -penjagaan terhadap ilmu-ilmu yang sudah ada? jika sebuah ilmu tersebut tidak diminati oleh siswa, tentu saja satu waktu ilmu tersebut akan hilang. Dan bagaimana siswa dibiarkan memilih jika ada persyaratan kemampuan yang memang mesti dimiliki seandainya siswa mau belajar ilmu tertentu. Tak mungkinlah siswa SD dibiarkan memilih mata pelaharan Integral Diferensial sebelum mereka menguasai dulu perkalian, jumlah, kurang bagi, dll.
Lalu bagaimanakah sebenarnya yang mesti kita terapkan kepada sistem pendidikan kita di Indonesia ini?
Pedagogy kah? Andragogy kah? gabungan keduanyakah?
atau ada alternatif lain?
Kira-kira..bisakah kita membayangkan sekarang? Setelah melihat bahwa Pendidikan bukan soalan yang mudah dan tidak sesederhana itu, Bagaimanakah menurut anda ? Jika di lingkungan Instansi pendidikan tidak diisi dengan orang-orang yang kompeten dengan pendidikan???!!!
Mau dibawa kemana pendidikan kita ini?


9 May, 2008 | Author: Ace Suryadi, Ph.D

Reformasi Sistem Pendidikan Nasional

Sistem belajar konvensional di sekolah makin diyakini sebagai sistem yang sudah
tidak efektif lagi. Berbagai konsep yang menyangkut kemampuan otak, kecerdasan, dan
kreativitas, berkembang makin jauh, dan makin menguatkan argumentasi yang ingin
mengoreksi kelemahan sistem belajar yang selama ini berlaku secara konvensional. Sekolah
dan perguruan tinggi sebagai kelembagaan pendidikan formal belum banyak menghasilkan
sumber daya manusia unggul yang secara individu maupun kolektif mampu menggerakkan
perubahan dan pembaruan yang dapat menciptakan akselerasi pembangunan untuk
kemajuan bangsa. Selama 60 tahun paska kemerdekaan, pembangunan nasional cenderung
bergerak lamban, tanpa akselerasi atau lompatan pertumbuhan. Pembangunan terlalu
banyak mengalami distorsi, tidak konsisten dengan skenarionya, sehingga tidak
menampakkan visi yang jelas dan tegas. Kelemahan sumber daya manusia di banyak aspek
menjadi penyokong utama permasalahan nasional ini.

    Komunitas pendidikan kita harus mengakui bahwa pendidikan sebagai bagian dari
    sistem pembangunan nasional belum mampu membangun kecerdasan komunal masyarakat
    sebagai kekuatan bersama untuk membangun kemajuan. Kecerdasan komunal merupakan
    kecerdasan kolektif masyarakat yang dibangun oleh kecerdasan individual yang mampu
    membentuk masyarakat intelektual yang memiliki kearifan sosial, yang memiliki unsur-unsur
    kecakapan berpikir, idealisme, etos, solidaritas, kreativitas, kekuatan politik, dll. Secara
    umum, sistem pendidikan belum dapat mengatasi lima aspek kelemahan pada hasil
    pendidikan kita (educational outcome),